Permasalahan dari pertambangan timah lepas pantai dengan mengoperasikan kapal isap produksi (KIP) tentunya akan memberikan banyak masalah saat masa operasi produksi. Penulis mencoba merumuskan beberapa masalah yang timbul saat masa ini yaitu :
1. Ekosistem laut rusak
Tidak dapat dipungkiri, dengan metode pertambangan KIP saat ini yang langsung membuang tailing ke laut maka kekeruhan air laut meningkat drastis. Sebaran dan kecepatan cemaran bisa diperkirakan dari pola dan kecepatan arus, dinamika pasang surut, dan aspek oseanografi lainnya. Sebagai pembanding, hasil simulasi yang pernah dilakukan saat sidang AMDAL di Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung oleh konsultan AMDAL untuk operasi KIP PT AEGA di perairan bagian utara Pulau Bangka, dari sekitar 21.000 ha izin yang diberikan mengakibatkan dampak sedimentasi hingga 502.000 ha pada musim barat. Terumbu karang yang terkena dampak dari tailing KIP biasanya mati tertutup lumpur/sedimen. Apalagi selama ini pengambilan keputusan lokasi penambangan di laut hanya melihat ada atau tidaknya timah bukan melihat ada atau tidaknya ekosistem terumbu karang di lokasi tersebut. Terumbu karang yang mati kemudian ditumbuhi makroalga yang miskin potensi perikanan. Jika hal ini terjadi, maka terumbu karang yang mati hampir tidak mungkin kembali pulih menjadi ekosistem terumbu karang yang sehat. Hal ini karena makroalga akan terus tumbuh mengganti struktur komunitas karang sebelumnya. Dampak turunan dari rusaknya ekosistem laut adalah dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan karena ikan semakin menjauh akibat penurunan habitat ikan.
Konsep pertambangan timah lepas pantai yang berwawasan lingkungan baru sekedar retorika dan belum ada contoh nyata hingga saat ini di Pulau Bangka. Bahkan PT Timah yang sering mendengungkan istilah ”good mining practice” tidak dapat membuktikannya untuk penambangan di laut. Hal ini diindikasikan oleh reklamasi laut tidak dilaksanakan di Pulau Belitung oleh perusahaan besar ini padahal tidak sedikit hasil timah diambil dengan kapal keruk di perairan laut Pulau Belitung.
2. Beroperasinya KIP akan diikuti dengan munculnya TI (Timah Inkonvensional) Apung
Pengalaman dari model pertambangan di Pulau Bangka, KIP biasanya dioperasikan oleh pekerja dari luar dareah seperti misalnya dari negara Thailand. Tidak realistis jika orang dari luar boleh mengaduk-aduk laut di depan mata masyarakat lokal sedangkan masyarakat sendiri tidak boleh menambang. Akhirnya masyarakat ikut menambang berpacu merusak lingkungan laut dengan kemampuan seadanya dan standar keselamatan minimal dengan membuka TI Apung. Permasalahannya adalah siapa yang kemudian bertanggung jawab terhadap kerusakan laut akibat TI Apung? Apakah Pemda mendapat pemasukan (PAD) dari TI Apung? Selain itu masih banyak lagi permasalahan terkait lainnya.
3. Banyak pendatang dari luar pulau untuk bekerja di TI Apung
Penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mayoritas adalah Suku Melayu yang secara umum tidak memiliki kemampuan menyelam 5-12 meter di laut. Akhirnya, didatangkan pekerja dari luar daerah yang mempunyai kemampuan menyelam atau nekad menyelam (karena himpitan ekonomi) ke daerah pertambangan. Bukan tidak membolehkan datangnya penduduk luar ke Pulau Bangka Belitung, namun sangat ironis jika penduduk luar datang hanya untuk membuat kerusakan alam dengan menambang di daerah ini. Kedatangan penduduk dari luar daerah akan memberikan damapak negatif di bidang sosial dan budaya. Selain itu, tak jarang terjadi konflik antara penduduk pendatang dengan penduduk asli yang akhirnya akan memperburuk citra pemerintah di daerah tersebut seperti kasus konflik di Kabupaten Bangka Tengah yang baru-baru ini terjadi.
4. Alih profesi dari nelayan ikan menjadi nelayan timah
Berdasarkan pengalaman di darat, godaan pertambangan membuat banyak petani yang beralih menjadi penambang timah. Bahkan kebun karet, kelekak, dan lahan basah yang subur di darat disulap menjadi lahan tambang. Begitupula di laut, alih profesi dari nelayan ikan menjadi penambang timah laut terjadi di Pulau Bangka seperti di daerah Teluk Limau Kecamatan Parit Tiga Bangka Barat; Kampung Nelayan Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka; Desa Tanjung Gunung Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah; dan Desa Pasir Putih Kecamatan Sadai dan Desa Permis Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Selatan. Ini adalah dampak dari hasil laut yang semakin berkurang akibat rusaknya ekosistem laut sehinga nelayan akhirnya beralih menjadi penambang timah laut. Hal ini menunjukkan bahwa begitu rapuhnya profesi nelayan di daerah ini. Dengan biaya operasional yang semakin meningkat akibat daerah tangkapan yang semakin jauh dan hasil tangkapan yang tidak menentu akhirnya membuat nelayan beralih menjadi nelayan timah.
5. Operasi KIP biasanya akan diikuti dengan munculnya preman (pembela perusahaan) dari kalangan masyarakat dan aparat pemda yang ikut bermain dengan pengusaha.
Inilah yang telah terjadi di Pulau Bangka. Istilahnya, berani membela yang bayar (pengusaha timah). Zaman sekarang sudah menjadi hal yang wajar jika kita melihat dan mendengar ada orang-orang yang berani menyatakan yang salah adalah sebuah kebenaran. Apalagi penegakan hukum terhadap pertambangan timah laut dengan KIP belum pernah terdengar tegas dan berefek jera. Akhirnya penerapan pertambangan timah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan semakin jauh api dari panggang.
6. Harga ikan dipastikan akan bertambah mahal
Ini merupakan dampak dari biaya operasional untuk melaut yang semakin tinggi. Kerusakan ekosistem laut akan membuat ikan semakin menjauh sehingga nelayan menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh pula. Hasil tangkapan pun biasanya lebih sedikit dan ukuran ikan lebih kecil. Waktu melaut pun semakin lama. Meningkatnya biaya operasional inilah yang kemudian membuat harga ikan di pasar semakin tinggi. Parahnya, kenaikan harga ikan yang ditanggung masyarakat/konsumen tidak pernah diperhatikan. Dampaknya kesejahteraan masyarakat semakin menurun karena semakin rendahnya daya beli masyarakat untuk membeli komoditas perikanan laut yang bergizi tinggi tersebut. Dari urairan ini, dapat diketahui bahwa nelayan kecil dan nelayan kater yang merupakan armada semut (one day fishing) dalam penangkapan ikan adalah yang terkena dampak paling besar karena wilayah tangkapannya sangat terbatas
KIP yang beroperasi hanya beberapa meter dari Pulau Pemuja |
7. Pengawasan pertambangan laut belum jelas dan tegas
Tidak seperti di darat, batas dari IUP laut tidak diketahui langsung secara kasat mata. Hal inilah yang membuat pengawasan pertambangan di laut berbeda dengan di darat. Di Pulau Bangka terbukti, 100 persen kapal hisap yang beroperasi telah melenceng dari batas IUP yang telah diizinkan (Bangkapos, 16 November 2008). Realita dari kondisi di Pulau Bangka, peran pengawasan laut dari SKPD terkait dampak penambangan timah di laut sepertinya tidak optimal bahkan sangat minim. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang perlindungan lingkungan hidup belum diterapkan sebagaimana mestinya.
8. Warisan yang tidak baik untuk anak cucu
Dampak sosial budaya terhadap penambangan timah yang tidak ramah lingkungan memberikan warisan yang tidak baik kepada anak cucu generasi masa depan daerah ini. Selama beroperasinya penambangan, anak-anak diperlihatkan bagaimana orang tua mereka merusak alam di depan mata mereka. Padahal, seharusnya contoh yang diberikan adalah bagaimana memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana dengan bersahabat dengan alam seperti yang diajarkan oleh norma agama dan budaya masyarakat.
Akhirnya, dari uraian diatas, sudah seharusnya pemerintah daerah berbenah diri mengelola pertambangan timah di laut agar memberikan kemaslahatan yang “seharusnya” untuk masyarakat dan bukan sebaliknya. Timah merupakapan anugerah bagi daerah ini, namun jika tak bijak dalam mengelolanya, tidak mustahil timah menjadi sumber bencana.
Penulis : Indra Ambalika Syari, S.Pi (Dosen Perikanan UBB)
Source : www.sayangbabel.org
Belitungku.com
Belitung News and Entertainment Online,
Portal Berita Belitung dan Hiburan secara Online.
0 komentar:
Posting Komentar