Artikel Opini ini ditulis oleh Bapak Wahyu Effendy pada tanggal 26 Oktober 2010.
Di tengah menguatnya perfektif pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belitung justru berencana mengijinkan beroperasinya kapal hisap di perairan lepas pantai Belitung. Kebijakan ironis tersebut kontan mendapat tentangan dari berbagai lapisan masyarakat di Belitung terutama dari masyarakat nelayan. Bahkan Komisi II dan III DPRD Kabupaten Belitungpun ikut menyatakan penolakannya.
Foto:http://www.sayangbabel.org/ |
Sekalipun dengan motif ekonomi ataupun dengan alasan sahih UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, kekukuhan Pemkab Belitung tersebut patut dipertanyakan. Selain bahwa penerimaan daerah yang diterima dari kapal hisap tersebut tidaklah signifikan menurut Ketua Komisi III DPR Kab. Belitung, Ishak Holidi, ancaman terhadap kelestarian ekosistem laut, dan potensi kerugian ekonomis di sektor perikanan laut, visi dan arah kebijakan pembangunan Bupati Belitung inipun menjadi pertanyaan : Mau dibawa kemanakah perekonomian Babel?
Tidak perlu penelitian yang mendalam dan rumit untuk mempertimbangkan kebijakan pengoperasian kapal hisap ini. Kapal hisap serupa sesungguhnya juga sudah beroperasi di Provinsi Babel yaitu di Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangsa Selatan. Pengoperasian 3 (tiga) kapal hisap milik PT Timah sejak tahun 2004 telah mengakibatkan kemunduran aktivitas ekonomi masyarakat desa Permis, Rajik dan Sebagin.
Menurut Yudho Marhoed, SH, Koordinator Simpul WALHI Sumatera Selatan untuk wilayah Kepulauan Bangka Belitung, pendapatan nelayan di sekitar wilayah perairan tersebut mengalami penurunan hingga mencapai 80%, dari sekitar Rp 400 ribu/sekali melaut menjadi hanya berkisar antara Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu/sekali melaut. Bukan angka yang kecil, kerugian kolektif masyarakat nelayan tersebut dalam satu tahun bisa mencapai Rp 14,4 Milyar hingga Rp 15 Milyar !!. Angka tersebut belum tentu sepadan dengan pemasukan yang diterima oleh daerah. Berdasarkan kenyataan pahit akibat kapal hisap tersebut akankah kebijakan yang merugikan masyarakat tersebutakan dilanjutkan kembali oleh Pemkab Belitung?
Keberadaan kapal hisap merupakan salah satu kasus dari permasalahan klasik perekonomian Kab. Belitung khususnya dan Provinsi Babel umumnya yaitu : dilema Timah. Bahwa Timah masih menjadi andalan perekonomian Babel ataupun Belitung, namun keberlanjutannya akan mengakibatkan kerusakan alam yang semakin besar dan menyurutkan potensi sektor ekonomi lainnya.
Dan paling esensi, diijinkannya pengoperasian kapal hisap di Bangka Selatan dan rencananya di Belitung menunjukkan ketidaksiapan dan ketiadaan visi pembangunan pasca Timah dari jajaran pemerintahan Babel, seperti yang juga diragukan oleh pakar lingkungan hidup, Prof. DR. Emil Salim. Sekalipun masyarakat Babel juga mempunyai andil, namun ketidakjelasan visi pembangunan sebagaimana slogannya BABEL TANPA TIMAH, menjadi causa prima munculnya permasalahan kapal hisap ataupun aktivitas Tambang Inkonvensional (TI) yang tak terkendali.
Keberlanjutan industri Timah tidak saja berdampak kepada perusakan alam yang secara transparan dapat disaksikan dengan adanya kolong-kolong ’kolam susu’, namun secara ekonomis juga menggerus potensi ekonomis berbagai bidang yang seharusnya menjadi andalan perekonomian masa depan Babel. Persoalan kapal hisap di Bangka Selatan menjadi gambaran nyata, pemasukan milyaran rupiah dari Timah akan menggerus Rp 15 milyar penghasilan dari perikanan laut. Terhadap sektor pariwisata, pemandangan kapal hisap di pesisir pantai Bangka dan Belitung, jelas bukan pemandangan yang ’indah’ yang layak dijual!
Siap atau tidak, visi pembangunan pasca Timah harus segera dirumuskan dalam kebijakan daerah yang memandu masyarakat ke bidang-bidang perekonomian non-Timah. Transisi perekonomian tersebut tidak dapat hanya dibebankan kepada kreatiftas dan inisiatif masyarakat. Peran dan inisiatif Pemkab atau Pemprov justru diharapkan dapat menjadi ’leading agent’ yang memfasilitasi dan memandu terwujudnya proses transisi. Mengingat dampaknya yang semakin kompleks dan akibatnya kepada masyarakat, inisiiatif tersebut patut segera direalisasikan melalui program dan kebijakan nyata.
Dengan tingkat cadangan terukur Timah di Indonesia yang diprediksi tersisa tidak lebih dari 12 tahun lagi menurut US Geological Survey tahun 2006, tiada pilihan bagi Pemda untuk berbenah dengan segala infrastruktur dan suprastruktur perekonomian alternatif. Apalagi kalau harus juga mempertaruhkan potensi perikanan laut, pariwisata, dan berbagai bidang lainnya yang dampaknya dapat berakibat jauh lebih panjang. Gagasan pembangunan alternatif sudah banyak disampaikan berbagai kalangan, selanjutnya hanya membutuhkan komitmen Pemda Babel.
Di tengah lintasan perairan internasional, sektor perikanan yang sudah menghasilkan kapitalisasi mencapai Rp 250 milyar per tahun dan berpotensi berkembang lebih besar. Pariwisata dengan berbagai panorama bahari yang eksotik dan keberagaman budaya yang harmonis adalah potensi unggulan perekonomian Babel masa depan. Lada juga merupakan potensi yang terlupakan sekalipun Babel pernah menjadi sentra lada dunia yang nilai ekspornya pernah mencapai angka Rp 1.5 trilyun per tahun. Dan berbagai sektor perekonomian lainnya yang mendesak untuk segera direalisasikan dengan upaya nyata dan strategi pembangunan ke depan.
Masyarakat Belitung khususnya dan Babel umumnya, layak berharap masih berkesempatan memiliki mimpi indah negeri ’laskar pelangi’ dengan kehidupan yang jauh lebih sejahtera setelah 12 tahun yang akan datang.
Source: kompasiana.com
Penulis
www.kompasiana.com/wisantara
Lahir dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Tanjungpandan Belitung, Babel. Saat ini menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI) sejak tahun 2005. Aktif menulis opini dan buku tentang sosial, politik dan hukum (HAM)
Belitungku.com
Belitung News and Entertainment Online,
Portal Berita Belitung dan Hiburan secara Online.
0 komentar:
Posting Komentar